Saat ini aku baru lulus SMA sedang cari lokasi kuliah, tapi telah 3 kota kujelajahi tidak satupun yang aku rasa cocok, kesudahannya aku pulang ke kotaku. Sebut saja namaku Novita, ketika ini usiaku 19 tahun, kata orang yang mengenalku aku dirasakan sebagai perempuan penggoda ini disebabkan format tubuhku yang yahud dengan bodi montok dan seksi serta bibir tipis dan kulit putih bersih bak mutiara. Orang bilang aku kayak bintang sinetron, CK.
Awalnya aku dicap sebagai gadis penggoda yaitu saat aku duduk di ruang belajar II SMA, aku memiliki teman akrab, sebut saja Anggie. Dia pindahan dari sekolah lain, di samping sebagai murid sekolah yang kutahu dia sebagai pelacur andai di luar lingkungan sekolah. Di sekolah melulu aku yang mengetahuinya, sebab seringnya aku bergaul dengan Anggie, aku jadi tidak banyak ketularan gaya pelacurnya, sampai-sampai sekolah tahu bila aku yang menjadi pelacur. Karena Anggie-lah, aku sering menyaksikan film porno miliknya. Jadi bila ada seorang pria yang kulihat ganteng terdapat di sekolah tentu kuganggu dengan suitan-suitan.
Lelaki yang kesatu kali kugoda ialah kepala sekolahku sendiri, sebut saja Pak Lubis. Aku dan Anggie sedang terdapat di lorong sekolah, 1 minggu lagi aku inginkan Ebtanas jadi latihan sudah berkurang, tapi tidak sedikit guru-guru dari sekolah beda yang meninjau sekolahku sebab mereka bakal jaga Ebta di sekolahku. Ada seorang guru dari sekolah beda sedang melintas di depanku dan Anggie, orangnya sih imut jadi kugoda. “Suit.. suit.. Bapak, boleh dong kenalan sama Noviita..” kataku saat dia melintas di depanku. Orang itu melulu tersenyum-senyum menyaksikan ke arahku, namun aku tidak tahu bila kepala sekolahku saat tersebut ada di belakangku. Tiba-tiba telingaku dijewernya.
“Hayo.. anda Novii.. ganggu orang aja yach..”
“Aduh.. sakit Pak..”
“Kamu ke kantor Bapak ya.. anda ini..”
“Iya.. iya.. Pak..”
Dengan tahapan terpaksa kuikuti kepala sekolahku ke kantornya. Pak lubis ini memang familiar galaknya. Ketika hingga di kantornya disuruhnya duduk berhadapan terhalang meja kerjanya yang tidak sedikit sekali surat-surat di atasnya.
“Tutup pintunya.. terus anda duduk sini..”
“Iya.. Pak..”
Kututup pintu kantor Pak Lubis kemudian duduk di hadapannya.
“Novi.. anda ini.. ganggu orang.. aja.. anda khan seminggu lagi ujian.. apa anda nggak inginkan lulus?”
“Iya.. inginkan Pak..”
“Iya.. anda belajar dong.. bukannya gangguin orang terus.. bila kamu begitu terus saya nggak dapat beri anda lulus..”
“Iya.. tidak boleh dong Pak.. Novi.. pingin lulus Pak.. namun Novi punya kriteria deh..”
“Syarat apa.. gunakan syarat-syarat segala..”
Aku tidak menuliskan apa-apa kriterianya, aku berdiri dan berlangsung ke arah pintu kantor Pak Lubis.
“Hei.. anda mau kemana? saya belum selesai.”
Pintu kantor Pak Lubis kukunci kemudian aku pulang ke arahnya, namun aku tidak duduk di kursi lagi, aku duduk di atas meja kerja Pak Lubis yang Pak Lubis sedang duduk di kursinya melongo menyaksikan tingkah lakuku. Arsip di atas meja kusingkirkan. Aku berhadapan dengan Pak Lubis, kancing bajuku kubuka satu persatu dan bajuku kusingkapkan sampai-sampai BH-ku warna pink dan perutku yang mulus dan putih sudah terlihat oleh Pak Lubis, kemudian tanganku menggapai tangan Pak lubis yang berotot, tangan tersebut kutuntun ke arah rok abu-abuku, kemudian kusingkap rokku dan dengan pertolongan tangan Pak Lubis kuraih celana dalamku warna krem kemudian kutarik sampai betis, dan terpampanglah dengan jelas tempeku dengan bulu-bulu halus di depan mata Pak Lubis.
“Pak.. berikut syaratnya.. kini selesaikan yang hendak Bapak selesaikan..”
Pak Lubis melulu terbengong menyaksikan tubuhku yang telah kubuka untuknya, matanya terus menatap ke arah tempeku. Nafasnya pulang menjadi semakin liar.
“Novi.. ka.. kamu.. hgeehh.. tempemu bagus sekali.. harum.. lagi.. ka.. kamu.. mau.. ya..”
“Iya.. Pak.. selesaikan aja sekarang.”
Tiba-tiba tangan Pak Lubis meregangkan kakiku, sampai-sampai semakin jelas tempeku terlihatnya. Pak Lubis separuh berdiri kemudian lidahnya mulai menyapu bibir tempeku dengan lembutnya, yang menciptakan diriku jadi menggelinjang sebab baru kesatu kali ini tempeku dijilat seseorang, yang mana sebelumnya urusan ini melulu kulihat di film porno kepunyaan Anggie, tapi kini aku merasakannya. Keringatku mulai terbit membasahi bajuku, perutku pun mulai basah oleh keringat.
“Aaahh.. sshh.. Pak.. ee.. enak.. sshh..”
“Novi.. anda baru kesatu kali yach.. diginiin..”
“Iy.. iyahh.. Pak.. aahh..”
tempeku terus dijilat oleh lidahnya dengan rakus. Pada ketika biji klitorisku terjilat, aku melenguh.
“Aaahh.. aarghh.. iya.. Pak.. di situ.. Pak.. enak.. sekali.. argh.. argh..”
“Iyah.. Novi.. Bapak.. pun suka.. rasanya manis sekali.. hheehh..”
Kepala Pak lubis kupegang dan kuelus kemudian kujepit dengan pahaku, rasanya aku tidak hendak kalau Pak lubis mencungkil lidahnya dari tempeku. Dan tersebut yang menciptakan Pak Lubis kian menggila menjilati tempeku. Lima menit sesudah tempeku mulai basah entah oleh cairan atau ludah Pak Lubis. Pak Lubis menurunkan celana panjangnya dan di balik tersebut jalan tolnya yang telah mengeras dan tegang seakan mendesak terbit dari celana dalamnya yang menciptakan Pak Lubis merasa tidak enak sampai-sampai dia juga langsung mencungkil celana dalamnya dan muncullah jalan tolnya yang agak panjang kira-kira 15 cm dengan diameter kira-kira 3 cm dan berurat menggelantung di tengah pahanya. Dipegangnya jalan tolnya kemudian ditempelkan tepat di bibir tempeku. Rasa batang tersebut agak hangat menyentuh tempeku.
“Novi.. masukkin.. kini yach..”
“Iya.. Pak.. punya Bapak kepalanya hangat deh.. batangnya tentu lebih hangat lagi..”
Tanganku merangkul lehernya, sementara tangan Pak lubis memegang kedua pantatku yang bersandar di atas meja, kemudian jalan tolnya mulai disodokkan ke tempeku. Aku hanya dapat terpejam menyangga sodokan batangnya, sebab memang tempeku belum pernah dimasuki apapun sampai-sampai batang tersebut meletot ke kiri dan ke kanan tempeku.
“Novi.. tempemu sempit sekali, anda masih perawan yach..”
“Iya.. Pak, memang belum pernah ditusuk kok Pak.. baru kesatu kali ini, jajaki jari Bapak dulu aja..”
Pak Lubis tersenyum seakan senang dapat membobol tempeku guna yang kesatu kalinya. Jarinya mulai mengupayakan dikorek-korekkan ke tempeku, urusan ini membuatku menggelinjang. Sekitar lima menit jari tersebut menguak bibir tempeku supaya makin lebar. Setelah tersebut dicobanya lagi jalan tolnya menusuk tempeku, dihentaknya berkali-kali sampai baru yang kesepuluh kalinya kesudahannya jalan tol tersebut masuk ke dalam tempeku walau melulu setengah. Batang tersebut membuat aku terasa sesak nafas menyangga hentakan di dalam tempeku. Selama batang tersebut dihentak aku hanya dapat memejamkan mata menyangga sakit yang paling pada dinding tempeku tapi saat sudah masuk separuh rasanya pulang menjadi nikmat yang paling luar biasa.
“Arrgghh.. arrgghh.. mmgghh.. Pak.. enak.. Pak.. terus sodoknya..”
“Iya.. Novi.. heh.. heh.. tempemu enak sekali, rasanya batangku diperas dalam tempemu.. heh.. heh.. oh.. ohh.. oohh..”
Tangannya mulai mengelus perutku kemudian BH-ku ditariknya sampai-sampai payudaraku yang montok nan mancung berselimut kulit yang putih mulus dihiasi puting kemerah-merahan terpampang jelas. Payudaraku diremasnya, kemudian mulutnya mulai melahap payudaraku, dihisap, dikenyot dan digigit. Mulutku yang seksi dengan bibir merekah kini dikecup bibirnya sesekali lidahnya memainkan lidahku sampai aku kian menggelinjang.
Tidak puas dengan gaya menyodok dari depan, badanku di atas meja kerjanya diputarnya sedangkan jalan tolnya masih tenggelam dalam tempeku, jadi gaya kini doggie style, aku berpegangan pada sisi meja kerjanya, tempeku disodoknya dari belakang, urusan ini membuatku meronta-ronta saat batangnya berputar di dalam tempeku.
“Aaahh.. aahh.. Pak enak sekali..”
“Novi.. enakan gaya ini daripada gaya yang tadi..”
Sodokan jalan tol Pak Lubis seakan bakal merobek tempeku, sampai 10 menit lantas tiba-tiba badanku kejang dan keluarlah cairan dari dalam tempeku dengan derasnya mengairi batang Pak Lubis yang masih terbenam di dalam tempeku, saking derasnya beberapa menetes pada meja kerjanya, cairan yang tidak sedikit sekali terbit dari tempeku membuatku lemas tak berdaya.
“Aaahh.. aarrgghh.. mmgghh.. Pak.. saya mau.. keluar.. nih.. Paakk..”
Sementara Pak Lubis kian mempercepat sodokan batangnya ke tempeku yang becek, pantatku yang putih mulus nan montok lagi dihisap dan digigit mulutnya, dan 5 menit lantas Pak Lubis akhirnya menarik keluar batangnya dari tempeku dan langsung muncrat cairan dari dalam batangnya dengan deras mengairi pantat dan punggungku.
“Argh.. argh.. argh.. Novi.. tempemu memang enak sekali deh.. argh.. argh.. sshh.. sshh..” Terduduklah Pak lubis di kursi kerjanya dengan lemas, sedangkan aku masih terbaring di atas meja kerja.
Tak lama lantas ada suara ketukan di pintu, Pak Lubis sontak mencuci batangnya yang masih tidak sedikit cairan dengan celana dalamnya sendiri, aku dibangunkan, tempeku yang masih ada saldo cairan dimurnikan dengan kertas kertas dokumentasi yang ditemukan olehnya dan menyuruhku gunakan bajuku. Sisa cairanku yang tumpah di meja kerjanya dimurnikan dengan sapu tangannya. Setelah aku dan Pak Lubis sudah berpakaian, dia menyuruhku terbit dari ruang kerjanya dan mempersilakan tamu yang mengetuk masuk ruangan, rupanya yang mengetuk ialah wakil kepala sekolah, Ibu Linda. Dengan tahapan gontai kutinggalkan Pak Lubis dengan Bu Linda. Aku juga pulang.
Hampir 5 hari aku tidak masuk sekolah, sebab selangkanganku rasanya sakit sesudah disodok Pak Lubis guna kesatu kalinya. Aku masuk sekolah melulu untuk mengetahui tempat ujian Ebta, yang rupanya aku mendapat tempat di suatu SMEA yang jauhnya 10 km dari sekolahku dan sesudah masuk ujian Ebta, melulu aku yang terdapat di SMEA tersebut tidak terdapat temanku dari sekolah SMA-ku. Ujian Ebta dilangsungkan selama 5 hari, saat hari Jum’at, hari terakhir seusai ujian di ketika aku jalan mengarah ke halte, aku dihadang oleh mobil Mercy, yang rupanya di dalamnya Pak Lubis.
“Novi.. sudah berlalu ujiannya, inginkan saya antar?”
“Bolehlah Pak..”
Aku kemudian masuk ke dalam mobil Pak Lubis dan kami pergi dari SMEA itu.
“Novi.. maaf yach kejadian di ruang kerja saya..”
“Ah.. nggak apa-apa koq Pak..”
“Terus terang semenjak kejadian itu.. saya jadi kangen sama kamu.. anda tidak bertemu nyaris 2 minggu. Maaf yach.. Novi.. saya pingin kehangatan dirimu lagi.. apa anda mau melakukannya lagi..?”
“Novi.. pun kangen sama Bapak.. terserah Bapak lah saya mah ikut Bapak aja..”
“Terima kasih.. yach.. Novi.. bila kamu bersedia.”
Kulihat Pak Lubis tersenyum sebab ajakannya tidak kutolak, kucium pipinya sewaktu dia menyupir. Hari tersebut Pak Lubis mengajakku ke Ancol, hingga di sana kami santap siang kemudian sekitar jam 14.00, aku dan Pak Lubis memesan suatu kamar di Pondok Putri Duyung, begitu masuk kamar dengan nafsu membara Pak Lubis dan aku langsung bugil, ditempelkan badanku di dinding kemudian Pak Lubis langsung menyodokkan batangnya ke tempeku dalam posisi berdiri, seakan aku digendongnya, nyaris 15 menit lamanya kami mengerjakan dengan posisi berdiri kemudian dia mengalihkan tubuhku ke lokasi tidur dengan posisi aku menggantungkan kakiku di sisi lokasi tidur dan disodoknya sedangkan batangnya masih tenggelam di tempeku semenjak posisi berdiri. 15 menit lantas ketika aku akhirnya menerbitkan cairan dan darah dari tempeku dengan derasnya yang membuatku lemas tak berdaya, kami ganti posisi lagi, kini kakiku ditaruh di pundak Pak Lubis sampai-sampai hujaman batangnya serasa lebih masuk lagi ke tempeku dan pada posisi yang ketiga ini kami kerjakan sampai 30 menit lantas dan Pak Lubis pun menerbitkan cairannya di dalam tempeku sampai aku menikmati kehangatan air maninya dalam tempeku.
Tapi tenaga Pak Lubis paling luar biasa, meski dia sudah menyirami air mani dalam tempeku. Pak Lubis membalikan badanku yang lemas-lemasnya guna ganti posisi lagi dimana kini aku jongkok di badannya sementara Pak Lubis istirahat terlentang. Badanku dipegangi kedua tangannya sementara tempeku yang tertusuk jalan tolnya, kemudian badanku dihentakkan naik-turun, gaya posisi ini kami kerjakan selama 10 menit, kemudian setelah tersebut dia memegangi tubuhku kemudian diputarnya badanku sampai-sampai posisi kami berubah lagi, badanku membelakanginya dan dikocoknya badanku naik-turun, posisi inipun kami kerjakan dalam 10 menit berikutnya sampai aku menerbitkan cairan lagi guna kedua kalinya sampai aku agak tak sadarkan diri sebab kali ini cairanku terbit dengan darah yang agak banyak. Dalam suasana tubuhku yang paling lemas, batang tersebut masih di dalam tempeku.
Pak Lubis merubah posisi lagi sampai ke-6 kalinya, kali ini aku nungging di lokasi tidur dan dia menyodok dengan keras sekali, posisi inipun kami kerjakan selama 15 menit sampai aku menerbitkan cairan lagi yang ketiga kalinya dan Pak Lubis pun kembali menerbitkan cairan di dalam tempeku secara nyaris bersamaan. Akhirnya sesudah 2 jam tempeku dihujam mati-matian oleh batang Pak Lubis dengan 6 posisi pula, aku juga langsung pingsan dibuntuti Pak Lubis yang ambruk di tubuhku seraya memelukku.
Aku terbangun dari pingsanku saat aku telah tiba di depan rumahku kira-kira jam 23.00 malam. Sebelum aku turun dari mobil Pak Lubis aku menghirup bibir Pak Lubis. “Pak.. makasih ya.. Novi.. benar-benar puas deh..”
“Novi.. Bapak yang mesti terima kasih sebab kamu dapat memuaskan saya nyaris 2 jam lamanya, anda hebat.. Novi.. dan terima kasih bila kamu inginkan menerima air mani saya.. di tempemu..”
“Nggak.. Novi.. yang terima kasih sebab Bapak menyerahkan air mani Bapak.. bikin Novi..”
Setelah tersebut aku turun dari mobilnya dan Pak Lubis langsung meninggalkanku. Dengan tahapan gontai aku masuk lokasi tinggal dan langsung tidur. Seharian aku tidak turun dari lokasi tidur sebab selangkanganku rasanya sakit sekali.
Pengumuman Ujian Ebta dilangsungkan 3 minggu kemudian, yang jatuh hari Sabtu, aku ke sekolah guna lihat hasil ujian sekaligus guna bertemu dengan Pak Lubis sebab rasa kangenku, namun Pak Lubis sedang rapat di kopertis. Aku kembali dari sekolah kira-kira jam 04.30 senja dengan tahapan gontai aku mendarat di rumah, di saat tersebut mamaku inginkan pergi dengan temannya.
“Novi.. jaga lokasi tinggal ya.. Mama inginkan arisan, pulangnya jam 09.00, kedua adikmu pun baru pergi ke Mal.”
“Iya.. Ma, tidak boleh lupa oleh-oleh bikin Novi..”
Mama juga pergi, dengan agak malas aku masuk ke dalam rumah, sebab aku bercita-cita di malam Minggu ini aku bisa bareng Pak Lubis. Setelah memblokir pintu aku ke kamarku dan mandi. Selesai Mandi saat aku sedang memandangi dan memijat-mijat kedua payudaraku sebab 3 minggu tidak tersentuh oleh tangan laki-laki, tiba-tiba pintu kamarku dibuka, rupanya ayahku baru kembali dari bengkel, ayahku memang empunya sebuah bengkel di kota Jakarta ini. “Eh.. Ayah..” aku langsung memungut handuk guna menutupi payudaraku. Ayah yang pun kaget lalu memblokir pintu kamar dan bertanya padaku dari luar kamar.
“Mamamu sama adik-adikmu kemana..?”
“Pergi.. yah, Mama terdapat arisan, Adik-adik ke Mal.”
“Ooohh, eh.. iya gimana anda lulus, nggak..”
“Lulus.. Yah..”
“Ya.. sudah.. Ayah inginkan istirahat..”
Suara ayah kemudian menghilang. Aku yang masih agak kaget atas kejadian yang baru terjadi, tiba-tiba perasaanku berubah. Ada perasaan guna menggoda ayahku sebab sudah 3 minggu aku horny, hendak sekali menikmati kehangatan laki-laki, kesudahannya aku memilih baju sackdress berwarna hitam dengan melulu menggunakan celana dalam tanpa menggunakan BH, jadi format payudaraku agak terbayang.
Aku terbit kamar dan kulihat ayah sedang nonton TV di ruang keluarga, kuhampiri ayahku, di antara tangan ayah memegang gelas mengandung kopi dan yang satunya memegang remote TV. Aku membayangi andai tangan ayah yang kekar menjamah tubuhku. Lalu aku duduk di sofa sebelah ayah. Tiba-tiba ayah menghirup pipiku.
“Selamat.. ya.. Novi.. anda ada rencana kuliah dimana..?”
“Wah.. belum.. tau Yah.. Novi.. binggung.”
Ciuman ayahku membuatku agak terangsang, kemudian aku menyadarkan kepalaku pada bahu ayah.
“Yah.. minumnya melulu kopi..”
“Ayah.. telah cari yang lain.. namun di dapur nggak ada..”
“Ayah.. inginkan tambah.. susu?”
“Emangnya ada.. koq Ayah.. nggak lihat.. di kulkas yach..”
Ayah lalu berjuang bangkit mengarah ke ke arah kulkas, namun buru-buru kucegah. Sehingga ayah duduk lagi.
“Susunya.. di sini koq.. Yah..”
“Mana..?”
Aku tidak menjawab, kemudian aku bangkit dari dudukku dan berdiri tepat di depan Ayahku. Tali baju sacdress aku turunkan sampai nyaris ke perut dan terpampanglah payudaraku yang mancung diselimuti kulit yang halus di depan muka ayahku. Ayahku agak terkaget melihatku.
“Novi.. ka.. kamu.. ngapain..”
Ayah terbata-bata sedangkan matanya tidak berpaling terus menatap payudaraku.
“Ini susunya.. Yah.. bikin Ayah..”
“Ka.. ka.. kamu.. gila.. Novi.. inginkan godain.. Ayah..”
“Mumpung.. Mama dan adik-adik pergi.. Yah..”
Kugapai tangan ayahku yang masih terbengong kemudian kutempelkan tangannya di payudaraku. Tangannya yang kekar tepat mengisi payudaraku. Tangannya agak basah berkeringat. Tapi tiba-tiba tangan tersebut meremas payudaraku dengan lembut.
“Aaahh.. terus.. Yah..”
“Novi.. payudaramu estetis sekali.. jernih banget.. kenyal lagi..”
Ayah yang telah terangsang mulai menghirup payudaraku, dicium, dijilat, dikenyot, dihisap dan digigit putingku yang berwarna kemerahan.
“Yah.. aahh.. aahh en.. enak.. Yah..”
“Iya.. sayang.. putingmu.. manis..”
Sementara payudaraku sedang dimakan oleh mulut ayahku, tangannya mulai merambah ke pahaku, rok sackdres-ku diangkatnya kemudian diraihnya celana dalamku dan ditarik ke bawah sampai kaki, otomatis tempeku yang ranum terpampang jelas dan menyerbakkan wewangian harum ke ruang keluarga.
“Novi.. bau apa ini.. harum sekali..”
“Bau tempe Novi.. Ayah.. khan.. Novi.. baru mandi.”
“Waawww.. tentu rasanya.. enak.. juga.. ya..”
“Kalau Ayah mau.. mencoba.. boleh.. kok.. sodok aja sama batang.. Ayah.. yang mulai nonjol..”
Kulihat jalan tol ayah telah mulai mendesak dari balik celana yang dikenakannya. Tubuhku kemudian digendong ayah dan dibujur di sofa, kemudian ayah jongkok serupa di pahaku dimana tempeku telah terpampang dengan jelas. Dengan lembut ayah menjilati bibir tempe lidah ayah paling lembut sampai-sampai aku menggelinjang.
“Aahh.. aahh.. Ayah.. eennaakk.. sekali..”
Pahaku kutekan sampai-sampai kepala ayahku terjepit ini kulakukan sebab aku tidak hendak ayahku mencungkil jilatan lidahnya pada tempeku.
“Novi.. tempemu.. segar.. sekali.. Ayah.. suka..”
Lidah ayah semakin ke dalam dan saat klitorisku terjilat aku berontak keenakan.
“Iyah.. iyah.. itu.. Yah.. enak.. sekali.. heehh..”
“Novi.. Ayah.. juga.. suka.. rasanya manis.. deh..”
Klitorisku dijilat ayah hingga 15 menit lantas dan kesudahannya meledaklah tempeku dengan menyemburkan cairan yang tidak sedikit sekali mengairi tempeku dan lidah ayah, namun dengan cekatan ayah langsung menelan cairan kental milikku sehingga tidak banyak sekali yang mengairi pahaku.
“Aaargghh.. arrghh.. Aayaahh.. nikmat.. sekali.. aahh.. aahh..” Lemaslah tubuhku di sofa, sedangkan ayah mempersiapkan diri guna menyodokku. Ayah mencungkil semua pakaiannya sampai bugil dan kulihat jalan tol ayah yang besar sekali melebihi punya Pak Lubis sebab aku perkirakan panjangnya 20 cm dengan diameter 4 cm, aku tersenyum menyaksikan ayahku sebab aku yakin tentu aku dapat dibuat puas oleh ayahku.
Ayah berdiri di depan mukaku, batang ayah ditunjukkan ke mulutku, ayah mengharapkan batangnya dijilat olehku. Tanganku mengupayakan meraih batang ayah, namun saking besarnya tanganku tidak dapat menggenggamnya. Lidahku kujulurkan menjilati batang ayah yang berurat, kujilat, kuhisap, kuemut dan kugigit layaknya anak kecil santap es loli. Kulirik ayah melulu merem-melek menikmatinya serbuan mulutku pada batangnya. Hampir 15 menit lamanya saat batang ayahku basah oleh ludahku, ayah mengalihkan dari mulutku dan langsung ditempelkan tepat di bibir tempeku. Kakiku dibukanya sampai tempeku tersingkap lebar. Kedua tangan ayah memegangi telapak kakiku kemudian batangnya mulai menyodok tempeku, tapi sebab batang ayah yang super gede dan tidak dipeganginya maka meletot batang ayah di luar tempeku.
Ayah kemudian memegang batangnya dan tepat ditempelkan pada tempeku dan pulang menyodokkan batangnya pada tempeku, walaupun tempeku pernah terbongkar oleh batangnya Pak Lubis, kepala sekolahku, dan batang ayah yang super gede maka tidak dapat sekali sodok guna memasukkan batangnya ke tempeku. Akhirnya sesudah 15 kali ayah berjuang menyodokkan batangnya, masuklah sampai setengahnya ke dalam tempeku. “Heekh.. heekh.. Yah.. punya Ayah.. gede.. banget.. masuknya sampe.. tempe.. Novi.. robek.. nih.. aahh.. aah.. sshh.. sshh.. terus.. yah.. terus.. e.. e.. enak.. deh..” Hantaman batang ayah yang besar di dalam tempeku membuatku sesak nafas guna menahannya namun rasanya paling nikmat. Ayah terus menghentakkan batangnya ke tempeku dengan genjotannya secara terus menerus sampai nyaris satu jam lamanya sesudah keringat deras mengucur dari tubuhku dan tubuh ayah dan aku mulai kejang-kejang seakan hendak memuntahkan cairan dari tempeku yang pada kesudahannya keluarlah dengan deras cairan dari tempeku mengairi batang ayah yang masih terdiam di dalam tempe milikku disertai eranganku.
“Aarrgghh.. aarrgghh.. Ayah.. Novi.. keluar.. nih.. Yah.. sshh.. sshh.. aagghh.. agghh.. eennaakk.. deh.. aahh.. aahh..” Lemaslah dengan lunglai tubuhku di sofa, sedang kulihat ayah belum menikmati apa-apa. Tiba-tiba ayah memegang kedua tanganku kemudian mengusung tubuhku dimana batang ayah masih tertancap di tempeku, sampai-sampai posisi kami kini ayah seakan menggendongku, tanganku mendekap leher ayah. Dengan posisi berdiri ayah menggoyangkan tubuhku, digendongannya naik-turun menggerakkan batangnya menjebol tempeku sampai-sampai aku loncat-loncat. Aku sangat menyenangi yang dilaksanakan ayahku sebab sudah tentu rasanya batang tersebut lebih ke dalam lagi menginjak tempeku. Walaupun tubuhku yang telah lemas namun aku berjuang mengimbangi gaya ayahku, payudaraku yang ranum, padat, kenyal telah diserbu mulut ayah baik digigit, dikenyot, dihisap putingnya. Aku menjawab dengan mengecup dahinya sambil membelai rambutnya.
Posisi ini dilaksanakan ayahku sekitar 15 menit yang lalu mengolah posisi lagi dimana batang ayah yang masih menancap di tempeku dan tubuhku diputar kemudian diletakkanlah tubuhku pulang di atas sofa jadi posisi yang sekarang, aku menungging disodok ayah. Posisi berikut yang rupanya disenangi ayahku, sebab dia menikmati bahwa batangnya lebih menyodok ke dalam lagi.
“Heeh.. heeh.. heeh.. Novi.. tempemu.. luar.. biasa.. sekali.. batang.. Ayah.. kayak.. dipelintir.. Ayah.. suka.. sekali.. heehh.. hhgghh.. hhgghh..” Selama satu jam Ayah menyodokku dengan posisi nungging dan tiba-tiba tubuh ayah mengejang dan batangnya ditarik keluar dari tempeku dan batangnya ditunjukkan ke mulutku yang tertutup dan secara otomatis langsung kubuka mulutku menyambut batang ayah yang langsung menumpahkan cairan yang tidak sedikit sekali dan hangat sampai-sampai cairan ayah otomatis tertelan di mulutku namun saking banyaknya cairan tersebut akhirnya meleleh hingga mukaku. “Aaarghh.. argghh.. Novi.. isap.. Novi.. telan.. nih.. cairan.. Ayah.. aarghh.. arghh.. sshh.. nikmatnya..”
“Mmbbmm.. mmbmm.. ssllrupp.. ssllruupp.. ahh.. Yah.. cairan.. Ayah.. nikmat.. sekali..”
Ambruklah tubuh ayah meniban tubuhku di sofa dan kami juga tertidur. Jam 08.00 malam aku terbangun dari tidurku di ketika ayah menggendong tubuhku yang bugil mengarah ke kamarku.
“Yah.. terima kasih.. Yah.. Novi.. merasakan.. kenikmatan.. yang.. tiada tara.. tapi beda kali cairan.. Ayah.. masukin aja.. di dalam. tempe Novi..”
“Iya.. sayang.. nanti.. Ayah.. kasih.. Ayah.. juga.. terima kasih.. atas.. kesenangan tempemu.. kini kamu.. tidur.. di kamar ya.. nanti ibumu.. pulang.”
Tubuhku ditaruh ayah di lokasi tidurku dalam kamarku, sesudah mengecupku ayah meninggalkanku yang tergeletak bugil terbit kamarku dan tidak lama lantas kudengar ayahku mandi sementara aku tertidur lagi.
Hubunganku dengan ayah berlanjut terutama andai ibu dan kedua adikku tidak di rumah. Kami juga sering mengerjakan di motel. Tapi sebaik-baiknya perbuatan, bila yang busuk tentu terbongkar. Terbongkarnya perbuatanku dengan ayah saat sudah nyaris 1 bulan berjalan. Malam tersebut sekitar separuh satu saat aku sedang istirahat “ayam” di kamarku dan telah tiga hari aku dan ayah berhubungan, ayah masuk ke kamarku untuk mengerjakan hubungan badan, sesudah 1 jam lamanya kami bersangkutan di ketika posisiku berada di atas tubuh ayah, tempeku tertusuk batang ayah. Pintu kamar tersingkap dan di luar kamar ibuku menyaksikan apa yang kami lakukan. Rupanya ibu terbangun dan menggali ayah dan tidak mengira bila suaminya atau ayahku sedang bersangkutan dengan diriku. Ibuku langsung menjerit dan meninggalkan aku dan ayah dengan terbengong. Ibuku lari ke kamarnya seraya menangis. Kami juga langsung berdiri dan berpakaian kemudian ke kamar ibuku. Malam tersebut ibuku marah besar kepadaku dan ayah. Aku dan ayah kesudahannya tidak istirahat dan melulu duduk menyesali tindakan kami di ruang tidur.
Paginya, ibuku tidak berbicara satu katapun kepadaku dan ayah. Akhirnya sesudah siang permintaan maaf kami diterima oleh ibuku dengan sebuah perjanjian bahwa mulai malam aku mesti meninggalkan lokasi tinggal untuk pergi ke Yogya dimana aku dititipkan ke adik ibuku yang sangat kecil, sebut saja Bibi Nani, sedang ibu dan ayah mesti pisah ranjang. Malamnya dengan perasaan berat aku meninggalkan lokasi tinggal untuk ke Yogya, tapi sebetulnya yang memberatkan perasaanku bahwa aku mesti berpisah dengan ayahku yang dimana tumbuh perasaan cinta terhadap ayahku sendiri.
Di kereta mengarah ke Yogya, pikiranku melulu tercenung ke ayahku. Sampai di Yogya pada pagi harinya, Bibi Nani menjemputku di stasiun KA. Ibuku mengirimku ke Yogya dengan tujuan bila aku dapat berubah dan kuliah di Yogya, ini diakibatkan Bibi Nani ialah seorang kepala sekolah agama, beliau terpaut dengan ibuku 15 tahun, Bibi Nani usianya 30 tahun, ibuku usianya 45 tahun, sementara Ayah usianya 47 tahun.
Bibi Nani ialah seorang yang taat agamanya, di samping sebagai kepala sekolah Aliyah, malam harinya tentu bersama-sama ibu-ibu tetangganya mengerjakan pengajian, berikut yang ibuku pikirkan bila aku ikut bareng Bibi Nani, aku dapat belajar ngaji lebih banyak, tetapi benak ibuku sangat bertolak belakang dengan pikiranku, makanya suami Bibi Nani, yakni Paman Hendi tergoda pun olehku. Paman Hendi usianya 2 tahun lebih muda dari Bibi Nani, dia seorang guru olahraga di suatu SMP Negeri di kota Jogja. Bibi dan Paman telah dua tahun menikah namun kehadiran seorang anak belum didapatkannya.
Satu Minggu telah aku bermukim di Jogja, rasa kangenku atas sentuhan ayah tiba-tiba bangkit. Hari itu ialah hari Jumat, kira-kira jam 01.00 siang aku kembali dari kampus-kampus untuk meregistrasi kuliah, saat aku masuk lokasi tinggal kulihat terdapat sarung dan sejadah di atas meja tamu, aku agak fobia karena seringkali paman dan bibi baru kembali dari sekolah pada senja hari, tiba-tiba di ruang dapur terdapat suara lemari es terbuka. Dengan agak fobia aku mengarah ke dapur, begitu hingga di dapur rupanya Paman Hendi sedang mempersiapkan santap siang.
“Eh.. Paman.. telah sampai.. seringkali pulang sore.. Paman..?”
“Iya.. Paman kembali agak cepat, rasanya Paman sakit perut, anda baru kembali dari mana?”
“Novi.. muter-muter Yogya, berakhir cari lokasi kuliah..”
“Ooohh.. Kamu sudah santap belum.. biar sekalian Paman siapkan..”
“Eh.. Paman tidur saja.. biar Novi yang siapkan santap siangnya..”
“Kamu bisa.. bila begitu terima kasih deh.. Paman di kamar yach.. nanti bila sudah siap bantu bangunin Paman!”
“Baik Paman.. biar Novi.. aja..”
Paman kemudian meninggalkanku di dapur mengarah ke kamar tidurnya, aku juga ke kamarku guna ganti baju kemudian mempersiapkan santap siang. 15 menit lantas setelah santap siang kusiapkan di atas meja makan, aku ke kamar istirahat paman guna membangunkannya. Kubuka pintu kamar istirahat paman, kulihat paman sedang istirahat di lokasi tidurnya, paman melulu mengenakan kaus dan celana pendek. Perlahan-lahan aku dekati paman yang sedang tidur. Begitu dekat dengan paman, pandanganku terpaku pada jalan tol paman yang agak menonjol dari balik celana pendeknya, rasa kangenku terhadap pria muncul, aku kemudian duduk di sebelah paman, tanganku mengelus jalan tolnya yang terdapat di balik celananya dengan perlahan, sebab nafsuku tiba-tiba melonjak, jalan tolnya mulai kuremas-remas. Tiba-tiba paman terbangun.
“Hah.. anda ngapain Novi, astaga.. anda ini..”
“Maaf Paman, nafsu birahi saya lagi memuncak nih.”
“Tapi.. kamu.. Novi.. anda ini.. gila..”
“Tidak.. Paman.. saya tidak gila.. saya hendak Paman dapat memuaskan nafsu saya.. sebab sudah 1 minggu saya tidak tersentuh lagi dari ayah..”
“Jad.. jadi.. anda sama ayahmu..?”
Paman tidak meneruskan kata-katanya lagi di samping melongo melihatku mulai mencungkil baju daster, BH sampai-sampai celana dalamku dimana aku langsung bugil. Paman tidak berkedip melihatku yang bugil berdiri di hadapan paman. Payudaraku yang putih mancung dan tempeku yang merekah seakan menantang pamanku. Aku kemudian duduk disamping paman yang duduk terbengong di lokasi tidur, tanganku mulai meremas lagi jalan tolnya, sementara tanganku yang satu memegang tangannya kemudian kutuntun ke arah tempeku. Bibirnya yang tipis mulai kuciumi, Paman melulu mengikuti keinginanku saja. Paman mulai menjawab ciumanku pada bibirnya, lidahnya dikeluarkan dan dipautkan dengan lidahku. Paman mulai bertambah nafsunya, tangannya terus mengorek tempeku lebih ke dalam lagi, jarinya ditusukkan masuk ke liang tempeku sampai menyentuh biji klitorisku.
Setelah lumayan puas memainkan tangan dan jarinya di tempeku. Paman lalu unik celana pendeknya sampai ke dengkulnya, rupanya paman tidak mengenakan celana dalam sampai-sampai otomatis jalan tolnya yang telah tegang sesudah kuremas-remas sekarang terpampang jelas di hadapanku. jalan tol paman ukurannya agak kecil dari punya ayahku, namun urat-urat pada batangnya lebih keluar.
“Paman, batang Paman uratnya gede-gede yach, hingga menonjol, rasanya sakit nggak sih?”
“Tidak sayangku, namun Paman yakin Novii tentu lebih puas deh selesai mengupayakan daripada punya ayahmu.”
“Ah, Paman dapat aja nih, mana mungkin?”
“Coba aja buktikan.”
Tanpa tidak sedikit bicara lagi jalan tol paman langsung kupegang dan mulai kuciumi perlahan-lahan. Bau khas batang paman membuatku kian bernafsu maka cepat-cepat kukulum, kujilat dan kugigit jalan tol paman. Aku layaknya seorang anak kecil merasakan coklat batangan, rasanya aku tidak hendak melepaskan mulutku dari batang paman. Paman mulai gelisah menggelinjang kesenangan menikmati serbuanku pada batangnya. Kepalaku diusap-usap kedua tangannya. Hampir 30 menit lamanya batang paman kuhisap dan mulai basah oleh ludahku sendiri, sedangkan tempeku mulai kembang kempis. Aku kemudian berdiri di atas badan pamanku, kemudian batangnya paman kuarahkan ke tempeku, sedangkan tangan paman melingkari tubuhku.
Setelah posisi jalan tol paman telah tepat di bibir tempeku, aku mengurangi ke bawah sampai-sampai tertusuklah tempeku dengan batang paman walau melulu kepalanya saja yang baru dapat masuk. 10 kali aku menyerahkan hentakan dengan pertolongan paman, kesudahannya masuklah semua batang paman ke dalam tempeku. Batang paman kerasnya luar biasa, laksana pentungan polisi menghentak liang tempeku, kerasnya batang paman mungkin diakibatkan paman tidak jarang berolahraga. Hentakan batang paman ke tempeku dilaksanakan berkali-kali.
“Aaahh.. aarrgghh.. aarrghh.. sshh.. Paman.. batang Paman keras sekali.. enak.. deh.. nyodok.. tempe Novi.. rasanya tempe Novi.. melebar nich..”
“Novi.. heegh.. heeghh.. tempemu juga.. nikmat.. sekali.. rasanya.. lebih.. nikmat.. dari punya.. Bibimu.. wah.. Ppaman jadi ketagihan nih..” Satu jam lamanya batang paman yang keras sekali menjebol tempeku, bobol-lah pertahananku dimana tempeku tidak sedikit sekali menerbitkan cairan putih dan hangat mengairi batang paman yang masih tertancap dalam tempeku. Saking banyaknya cairan yang terbit dari tempeku sampai meleleh ke paha kami berdua. “Aaah.. aahh.. Paman.. enak sekali.. aahh hh.. arrghh.. sshh.. sshh.. Novi.. ke.. keluar.. nih..” Lemaslah tubuhku menimpa paman yang sedang asyik melumatkan payudaraku yang putih, montok dan kenyal yang lagi dihisap-hisap oleh pamanku. Paman kemudian memutarkan badanku dimana batang paman masih tertancap di tempeku sampai sekarang posisiku kini duduk di atas membelakangi pamanku, lantas tubuhku diusung dan dijatuhkan di lokasi tidurnya, jadi posisi kami kini aku menungging dan paman berdiri dengan dengkulnya. Batang paman yang masih menancap kemudian ditekannya berkali-kali ke tempeku, kedua tangannya memegangi pantatku sementara aku tergeletak lemas. “Agh.. agh.. aghh.. Novi.. tempemu.. memang enak sekali.. rasanya.. agh.. agh.. agh.. sshh.. sshh..”
Batang paman yang keras menghujam lagi ke tempeku berkali-kali hingga kira-kira satu jam lantas aku menerbitkan cairan dari tempeku guna kedua kalinya dan paman pun menerbitkan cairan yang tidak sedikit sekali dimana paman menumpahkannya cairan paman yang hangat di punggungku sebab paman terlebih dulu unik batangnya dari tempeku sebelum menerbitkan cairan. “Aaahh.. aahh.. sshh.. sshh.. Novi.. tempemu.. spektakuler deh.. baru kali ini paman menerbitkan cairan segini banyaknya.. beda kali lagi yach.. aahh..”
Lemaslah tubuh paman sambil mendekap tubuhku dimana batang paman yang masih keras walau menerbitkan cairan yang tidak sedikit menyundul pantatku. Sementara aku juga sedang tergeletak lemas dimana tempeku basah oleh cairanku sendiri dan punggungku basah oleh cairan pamanku. Kami juga tertidur selama tidak cukup lebih 1/2 jam saat jam berdentang pukul 04.00 sore.
“Novi.. tempemu enak sekali deh.. boleh paman jajaki lagi beda waktu.”
“Boleh dong.. Paman.. tapi beda kali cairan Paman dibuangnya di dalam tempe Novi aja.. yach!”
“Iya.. deh.. sayang.. makasih.. ya..”
“Iya.. Paman.”
Kukecup bibir pamanku kemudian kutinggalkan pamanku yang tergeletak bugil, aku pergi ke kamarku kemudian mandi. Selesai mandi saat aku mau santap makanan yang dari siang tadi telah kusiapkan sedangkan paman pun sudah berlalu dari mandi dan akan santap bersamaku. Pulanglah bibiku dari kerjanya.
“Loh.. Ayah telah pulang?”
“Kok cepet Yah?”
“Badanku agak sakit jadi jam 2 tadi aku telah pulang, untung keponakanmu Novi, dapat masak jadi baru kini aku dapat makan sesudah tidur.”
“Wah.. Novi.. hebat yach.. dapat masak juga, anda pulang jam berapa dari susunan ke kampus?”
“E.. e.. jam 04.00 sore.. Bi..
Kujawab pertanyaan bibiku seraya tersenyum ke arah pamanku yang pun tersenyum kepadaku dimana sebetulnya aku telah mendustai bibiku sendiri. Bibiku kemudian meninggalkan aku dengan suaminya di meja santap untuk berganti baju. Aku kemudian berbisik pada pamanku.
“Paman, ma’afin Novi yach, telah membohongin Bibi, Paman tidak boleh ngadu yach..!”
“Enggak.. Novi.. Paman nggak bakal ngadu.. justeru Paman terima kasih anda telah berdusta pada bibimu, soalnya Paman pun takut sama Bibimu, pokoknya kejadian tadi siang jadi rahasia anda berdua.. yach?”
“Oke.. Paman!”
Hari berganti hari menciptakan hubunganku dengan Paman Hendi semakin intim layaknya suami istri dan pasti saja kami lakukan andai Bibi Nani tidak di rumah. Di samping di rumah, kami pun sering mengerjakan di Parang Tritis. Hubungan kami dilangsungkan selama 1,5 bulan di ketika aku pun telah terdaftar jadi mahasiswi di suatu akademi di Jogja dan mulai terhirup oleh Bibi Nani. Hari tersebut hari Jum”at, laksana biasa Paman kembali dari sekolahan dan sesudah lepas sembayang Jum’at kami tentu janjian di lokasi tinggal untuk mengerjakan hubungan suami istri, di ketika Paman sedang telanjang di atas tubuhku yang pun telanjang, Bibi Nani langsung masuk kamarnya. Dia langsung menjerit dan pingsan menyaksikan kami. Aku dan paman juga lalu menghentikan tindakan kami dan menikmati keheranan atas kepulangan Bibi yang lebih mula dari biasanya.
Setelah siuman Bibi Nani menyidangi aku dan suaminya, dengan perasaan menyesal dan mohon maaf kesudahannya kuputuskan guna meninggalkan kota Jogja dan statusku sebagai mahasiswi guna kembali ke Jakarta. Tetapi sesudah Bibi Nani dan Ibuku bicara melewati telepon malam itu, kesudahannya ibuku yang masih marah kepadaku menyimpulkan untuk tidak pulang ke Jakarta namun aku diajak ke Surabaya untuk bermukim dengan Pakde Gatot yang adalahkakak tertua ibuku.
Pagi harinya dengan menaiki bis, kutinggalkan Jogja dengan sejuta kenangan bareng Pamanku mengarah ke Surabaya. Siang harinya aku mendarat di lokasi tinggal Pakdeku di Surabaya. Pakde Gatot ialah kakak ibuku yang tertua, usianya 50 tahun. Pakde seorang pengusaha yang paling sibuk sekali sampai-sampai dia jarang sekali di rumah. Di lokasi tinggal paling-paling dalam satu tahun dia melulu 1 bulan, selebihnya mengurusi bisnisnya yang tidak sedikit di luar negeri. Mungkin berikut pertimbangan ibuku aku ikut Pakde tentu tidak bakal menggoda lagi, memang betul sih pendapat ibuku, namun pada kesudahannya yang tergoda bukannya Pakde namun Ayah dari Budeku. Budeku seorang yang masih muda, usianya baru 30 tahun, dia adalahsekretaris Pakdeku yang dinikahi oleh Pakdeku. Saking sibuknya Pakde, otomatis Bude tidak jarang ikut bisnis dengan Bude pergi ke luar negeri, Bude juga jarang di rumah.
Sudah dua bulan aku di Surabaya, di lokasi tinggal Pakde yang besar dengan 6 kamar tidur. Aku bermukim beserta 3 penolong wanita dan 2 orang penjaga malam. Sejak aku datang dari Jogja, 2 hari lantas Pakde dan Bude pergi ke Singapura menjalankan bisnisnya dan mendampingi kedua sepupuku yang masih SMP di Singapura hingga 2 bulan lebih tidak pulang ke Surabaya. Rasa bosanpun timbul pada diriku, aku malas guna mendaftarkan diri guna kuliah. Akhirnya hari-hariku aku lewatkan melulu berenang di lokasi tinggal Pakde, Nonton film dan jalan-jalan di Surabaya, sesekali kuhubungi ayahku di Jakarta yang rupanya semenjak aku bermukim di Jogja, ayah tidak bermukim lagi di lokasi tinggal tapi bermukim di bengkel miliknya, jadi ayah dan ibuku telah pisah rumah. Terus terang, kuhubungi ayahku untuk mencungkil rinduku atas usapan pria yang telah 2 bulan tidak menyentuhku.
Suatu siang aku sedang berenang tiba-tiba suara penolong rumah Pakde mengejutkanku.
“Mbak, di ruang tamu terdapat Tuan Iwan lagi nunggu.”
“Siapa tersebut Mbok?”
“Tuan Iwan khan bapaknya Nyonya, Mbak Novi belum kenal yach..? Wah.. masa-masa Mbak belum di sini Pak Iwan tidak jarang ke sini, orangnya baik loh Mbak namun suka ngodain penolong di sini.”
“Hush, Mbok ini nggak boleh bicara begitu!”
“Wah, Mbak ini nggak tau sih, wong 6 bulan kemudian ditinggal mati sama istrinya.”
“Mbok, sudahlah nanti saya adukan ke Bude loh.”
“Eh, tidak boleh Mbak, namun hati-hati loh Mbak!”
Kulilitkan baju handuk dan kutinggalkan sang pembantu tersebut di empang renang, aku mengarah ke masuk ke dalam rumah mengarah ke ruang tamu. Di ruang tamu kulihat orang yang mempunyai nama Iwan lagi duduk di kursi tamu, dan kuhampiri yang lagi asyik menyeruput minuman jeruk.
“Maaf, saya Noviita, saya keponakannya Pakde Gatot, Bapak siapa?”
“Eh, saya Iwan, saya Bapaknya Budemu. Pada kemana mereka, apa lagi terbit negeri?”
“Oh iya Pak, Pakde dan Bude telah dua bulan terdapat di Singapura.”
“Oh, tentu lagi nemuin kedua cucuku yach, Ivan dan Maya.”
“Oh iya betul, Pak.”
Keraguanku terhadap orang ini terjawab sesudah dia melafalkan kedua sepupuku, namun yang aku rasakan tidak enak ialah tatapan matanya yang tajam ke arahku dimana dia seakan terangsang menyaksikan tubuhku yang basah oleh air kolam melulu terbungkus bikini dan baju handuk. Pikiranku langsung tertuju untuk perkataan penolong tadi.
“Kamu, Novi, keponakan Gatot dari mana?”
“Saya dari Jakarta, destinasi saya inginkan kuliah di sini, bila Eyang Iwan dari mana?”
“Saya dari Banyuwangi, Budemu khan asal nya sana, namun tolong tidak boleh panggil saya Eyang yach, panggil saja Pak Iwan, Saya biasa nginap di sini bila ke Surabaya, yach bila lagi kangen dengan Budemu.” “Oh, iya Pak, ya telah silahkan Pak, nanti kamar Bapak biar disiapkan, kini saya inginkan ganti baju dulu sehabis berenang.”
Kutinggalkan bapaknya budeku di ruang tamu, sedangkan aku berjalan mengarah ke kamarku yang terdapat di lantai atas guna ganti baju seusai berenang.
Kumasuki kamar istirahat lalu kulepaskan jubah mandi yang agak basah dan masuk kamar mandi. Setiap kamar istirahat dilengkapi kamar mandi. Kutanggalkan bikini kemudian kuputar tombol kran shower dan kubasuh badanku yang bugil dengan air. Seperti seringkali aku mandi tidak pernah kututup pintu kamar mandi yang kututup melulu pintu kamar dan kukunci, tapi barangkali aku tak sempat menguncinya sebab aku tidak sadar bila Pak Iwan (bapaknya budeku) mengikutiku dan kini ada di kamar sedang menyimak aku menyiram badanku di bawah shower. Sepuluh menit setelah aku mandi, saat aku terbit dari kamar mandi dan akan memungut handuk di dalam lemari untuk mencuci tubuhku tiba-tiba aku dipeluk oleh Bapak Iwan yang hadir dari balik pintu kamar mandi yang terbuka. Aku juga kaget separuh mati dan berjuang berontak untuk mencungkil dekapan Bapak Iwan.
“Novi, tubuhmu estetis sekali telah 10 menit aku merasakan tubuh bugilmu terguyur air, kini layanilah aku!”
“Ah, tidak boleh paksa saya Pak, Bapak kok dapat masuk kamar saya, bantu lepaskan Pak..”
“Kamu khan sengaja tidak mengunci kamarmu khan, biar aku dapat masuk.”
“Ah.. jangan.. lepaskan saya, Pak..!”
Tenagaku yang lebih powerful dari dekapan Pak Iwan kesudahannya terlepas juga.
“Novi, maafin saya yach, tolong tidak boleh kasih tau untuk budemu yach bila saya melakukan tidak baik padamu bantu yach..!”
Pak Iwan kemudian berbalik dan bakal menuju terbit dari kamarku namun kucegah sebab tiba-tiba rasa kangen atas sentuhan laki-laki timbul dari diriku.
“Pak.. maafin Novi pun yach, bila Bapak mohon baik-baik tentu saya kasih kok Pak..”
“Ah, yang benar nih, anda nggak marah dan anda nggak bakal ngadu ke Pakde dan Budemu..”
“Enggak Pak, dipastikan kerahasiaannya deh, sini Pak!”
Pak Iwan kaget menyaksikan reaksiku yang tiba-tiba menerima dirinya. Pak Iwan yang kini di depanku semakin kaget saat tanganku menjamah jalan tolnya yang masih tersembunyi di balik celananya kuelus dengan lembut. Aku yang kian terangsang segera jongkok di depannya dan kuturunkan celananya sampai-sampai jalan tol Pak Iwan yang telah mulai mengeras terpampang jelas di hadapanku dan mulai kumainkan lidahku dengan menjilati jalan tol tersebut yang kira-kira panjangnya 20 cm, format dan ukurannya tidak jauh bertolak belakang dari kepunyaan kepala sekolahku dulu namun kulitnya agak keriput mungkin sebab usianya yang jauh berbeda. Pak Iwan kuperkirakan berusia 60 tahun.
Seranganku tidak saja lidah saja, mulai kucoba kumasuki ke dalam mulutku batang Pak Iwan yang menciptakan dirinya kian mengelinjang, matanya juga merem-melek dan tangannya mulai mengusap-usap kepalaku. Hal tersebut kulakukan kira-kira 15 menit dan kusudahi saat batang tersebut mulai basah oleh ludahku dan tempeku pun sudah mulai merasa kembang kempis hendak ditusuk sesuatu. Aku kemudian berbaring di lokasi tidurku sedangkan Pak Iwan sedang mencungkil baju dan celananya sampai dia bugil, kulihat dia berlangsung ke arahku yang terbaring bugil di lokasi tidur, kakiku kulebarkan sampai-sampai bau harum tempeku menyerbak ke ruang tidurku.
“Novi, Bau apa nih wangi sekali..”
“Bau dari tempe Novi, Pak Iwan inginkan khan?”
“Woow, inginkan sekali.”
Pak Iwan (ayah budeku) sekarang telah berdiri di samping lokasi tidur, jalan tolnya yang telah mulai keriput menggantung dengan tegang di hadapanku, dimana tadi telah basah oleh ludahku. Tapi Pak Iwan justeru berjongkok dekat pahaku. Tangannya yang pun sudah keriput mulai mengusap selama pahaku yang putih dan mulus kemudian kepalanya yang agak botak didekatkan ke tempeku. Hidungnya mengendus-endus membaui tempeku.
“Novi, wangi sekali yach, tentu rasanya enak deh, boleh Bapak jajaki sekarang?”
“Silakan Pak, pokoknya yang enak aja deh bikin Bapak, inginkan diapain pun boleh.”
“Terima kasih ya, Novi.”
Lidah Pak Iwan mulai menyapu selama bibir tempeku kemudian ditusukkan lidahnya ke dalam liang tempeku dan disedot-sedot liang tempeku yang menciptakan diriku melintir keenakan, maklumlah telah 2 bulan tubuhku tidak disentuh oleh laki-laki.
“Aahh.. aahh.. Pak.. enak.. sekali lidah Bapak.. tempe.. Novi.. rasanya ditarik-tarik arghh.. terus.. terus Pak.. arghh..”
“tempemu enak sekali.. Novi.. seumur hidup.. baru.. kali ini.. saya nemu.. tempe.. begini enak.. slurpp..”
tempeku disedot-sedot berkali-kali sampai aku menggelinjang ke kiri dan ke kanan membantingkan kepalaku. Rasa nikmat yang paling barulah aku dapatkan kini dari Pak Iwan, sementara dari lelaki sebelumnya aku belum pernah senikmat ini. tempeku disedot sekitar 15 menit, dimana cairan putih dan kental mulai mengairi tempeku namun dengan tangkas Pak Iwan melahapnya hingga habis.
Setelah puas dengan tempeku, Pak Iwan kemudian berdiri tepat di sisi lokasi tidur, tubuhku diputar sampai kakiku menjuntai ke bawah, kemudian batangnya ditunjukkan tepat pada tempeku yang telah basah oleh cairan putih dan kental. jalan tol Pak Iwan telah menempel tepat di liang tempeku dan mulai dihentakkan keluar-masuk tempeku yang agak basah. Batang yang besar dan panjang dihentakkan berkali-kali ke dalam tempeku, baru yang ke-10 kali hentakan, masuklah batang tersebut ke dalam tempeku. jalan tol Pak Iwan rasanya laksana punya ayahku, baik panjang maupun besarnya, bedanya melulu pada kulitnya yang agak keriput yang membuatku agak kegelian atas gesekan di dalam tempeku.
“Ahh.. ehh Pak.. batang Bapak menciptakan saya geli-geli enak deh.. berakhir agak keriput, maka gesekannya menciptakan saya kelojotan keenakan.”
“Oh.. iya, tempemu pun rasanya enak sekali, punya saya kayak diapit dan dipelintir, aahh.. aahh..”
tempeku disodok-sodok sama batang Pak Iwan hingga kira-kira satu jam lamanya yang menciptakan tubuhku kejang di ketika aku menjangkau titik orgasme dimana cairan putih kental terbit dengan derasnya dari tempeku yang masih tertusuk jalan tol Pak Iwan yang masih saja tegang dengan kerasnya. “Ohh.. ohh.. aarghh.. arghh.. aahh.. aahh.. sshh.. aahh.. se.. sedap.. deh.. Pak..” Lemaslah tubuhku sampai berasa hingga tulangku, namun Pak Iwan masih saja bertenaga guna melanjutkan permainan seks denganku dimana tanganku kemudian ditarik dan digendongnya tubuhku oleh tubuhnya yang lebih kecil dari tubuhku namun tenaganya luar biasa, kemudian gantian kini Pak Iwan yang berbaring dan tubuhku tergeletak lemas di atasnya. Selama dia mengerjakan tukar posisi, batangnya masih terdapat di dalam tempeku.
Hentakan batangnya pada tempeku berlanjut sampai aku kian tidak bertenaga sebab tenaga Pak Iwan yang sungguh luar biasa, nyaris 1 jam lamanya tempeku diserang oleh batang Pak Iwan bertubi-tubi, payudaraku yang putih, ranum dan menantang pun telah menjadi bulan-bulanan dari mulut Pak Iwan, payudaraku telah diisap, dikenyot dan ditarik-tarik puting coklatku oleh giginya yang mulai ompong. tempeku akhirnya menerbitkan kembali cairan putih, kental dan harum guna kedua kalinya sementara Pak Iwan belum berasa apa-apa. “Argh.. argh.. aagghh.. oohh.. oohh.. Pak.. saya.. keluar.. lagi.. nich.. aagghh aghh.. aghh..” Lemaslah tubuhku di atas tubuh Pak Iwan, guna kedua kalinya. Sementara Pak Iwan yang masih bertenaga mengupayakan posisi baru lagi yakni dimana jalan tol Pak Iwan yang masih menancap di tempeku dia memutarkan badanku sampai sekarang posisinya pulang menjadi aku di bawah seakan aku menungging dan disodok oleh jalan tolnya yang masih saja keras. Posisi dimana aku menungging dan disodok oleh Pak Iwan dilakukannya selama tidak cukup lebih satu jam lagi yang mana aku tidak menikmati apa-apa sebab saking lemasnya tubuhku.
Pak Iwan akhirnya menjangkau puncak kesenangan yang kesatu kalinya dimana sebelumnya aku pun mencapai puncak kesenangan untuk ketiga kalinya.
“Aghh.. aghh.. Pak aku.. terbit lagi nich.. aghh sshh.. oohh.. oohh.. nikmat.. sekali.. Pak..”
“Aghh.. aawww.. oohh.. Novi.. aku.. juga.. keluar.. nih.. tempemu.. spektakuler sekali.. deh.. aahh.. namun aku.. masih belum terlampau puas.. nih.. tapi.. lumayanlah.. tempemu.. nikmat, juga..”
Cairanku mengairi paha dan tempeku dengan tidak sedikit sekali. Sementara cairan Pak Iwan yang hangat dan kental mengairi punggungku sebab pada ketika dia akan menerbitkan cairan, jalan tolnya sudah dicungkil dari tempeku. Lalu ambruklah tubuh Pak Iwan di atas tubuhku yang telah lebih dulu ambruk.
Setengah delapan malam aku terbangun dari istirahat sehabis 3 jam aku melayani nafsu pria Pak Iwan dan Pak Iwan telah tidak berada dalam kamarku. Setelah aku mencuci bekas cairan di tempeku di kamar mandi, aku terbit kamarku untuk santap malam dimana aku melulu menggunakan daster guna menutupi tubuhku sedangkan BH dan celana dalam kutanggalkan di kamar. Ketika aku hingga di ruang makan, kulihat Pak Iwan baru saja selesai santap dan bakal meninggalkan ruang santap kulihat dia melulu tersenyum kepadaku yang kubalas dengan senyuman. Selesai santap sebenarnya aku menggali Pak Iwan namun di ruang family tidak kutemukan, aku lalu beranggapan mungkin dia telah ada di kamarnya. Jam 11.30 malam sesudah nonton TV, aku beranjak mengarah ke kamar tidurku guna istirahat sesudah tadi siang aku mengeluarkan tidak sedikit tenaga melawan permainan nafsu dari Pak Iwan, aku sedang berbaring di lokasi tidurku tiba-tiba pintu kamarku tersingkap dan Pak Iwan berdiri di depan pintu dengan memakai piyama model baju handuk.
“Eh.. Pak Iwan, terdapat apa Pak?”
“Maaf, yach.. Novi.. boleh aku masuk..”
“Silakan Pak..”
Pak Iwan kemudian masuk ke kamar tidurku dan langsung duduk di sampingku di lokasi tidur, otomatis aku kemudian merubah posisiku duduk di samping Pak Iwan.
“Novi, maaf yach tadi siang, saya melakukan salah.”
“Eh, nggak apa-apa kok Pak, Novi senang kok, Novi benar-benar puas tadi siang, bagaimana dengan Bapak.. puas nggak?”
“Ah yang benar Novi, anda nggak apa-apa nih, namun memang saya belum puas tadi siang, dapat nggak anda muasin saya malam ini, soalnya saya lagi coba gunakan tangkur buaya..”
“Ah, masa sih Pak, tadi siang belum puas, tapi bila malam ini Bapak inginkan puas pun boleh, namun badan saya agak capai karena tadi siang.”
“Nggak, apa-apa kok Novi, bila kamu capai anda diam saja biar saya yang berpacu.. OK!”
“OK.. lah terserah Bapak.”
Pak Iwan kemudian langsung mencungkil baju piyama yang dikenakan sesudah aku setuju guna memuaskannya malan ini, batangnya yang menggantung keras menantang ke arahku. Baju dasterku langsung diloloskan dari tubuhku oleh pertolongan tangannya dan kami pun mengerjakan hubungan layaknya suami istri. Malam tersebut aku dibuat pingsan hingga 3 kali, tenaga Pak Iwan benar-benar luar biasa, permainan kami dilangsungkan dari jam 12.00 malam dan selesai kira-kira jam 05.00 pagi, saat terdengar ayam berkokok. Hebatnya Pak Iwan sekitar 5 jam permainan, dia melulu 1 kali menjangkau puncak orgasme yakni pada ketika akhir permainan, sementara aku 5 kali orgasme dan 3 kali pingsan. Dan yang lebih hebatnya batang Pak Iwan sekitar permainan dilangsungkan tetap tertancap dalam tempeku dan beragam posisi serta tetap keras dan tegang sekitar 5 jam.
Hubungan permainanku dengan Pak Iwan (bapaknya budeku) tidak melulu terjadi di lokasi tinggal Pakde dan Bude di Surabaya, kami juga melakukannya di Malang, Banyuwangi (rumahnya Pak Iwan sendiri) dan di Bali. Selama 4 bulan hubungan kami, dua bulan aku sedang di Banyuwangi dan sisanya kami kerjakan di Bali, Malang dan Surabaya. Sesudah 4 bulan hubunganku dengan Pak Iwan kesudahannya terbongkar pun oleh anaknya Pak Iwan (Budeku sendiri) dimana disaat aku sedang telanjang di atas Pak Iwan yang pun bugil, kami tidak tahu bila Bude dan Pakde kembali dari luar negeri pada hari itu, kami kepergok saat kamar tidurku dimulai oleh Bude, dia juga langsung pingsang menyaksikan ayahnya sedang melakukan mesum dengan keponakannya.
Hari tersebut juga aku diusir dari Surabaya, sedangkan Pak Iwan kembali ke Banyuwangi. Dengan dana yang kupunya hasil pemberian Pak Iwan sekitar kami bersangkutan aku pulang ke Jakarta. Aku ke Jakarta untuk kembali tapi aku tidak kembali ke rumah tetapi ke bengkel ayahku, sebab ayah dan ibu semenjak kejadian yang karena aku, mereka berpisah rumah, ibu bermukim di rumah, ayah bermukim di bengkel yang di atasnya terdapat 2 ruang guna tidur.
“Yaah.. Novi kembali Yah..”
“Hah.. Novi, kamu.. informasinya gimana..?”
Ayah memelukku setelah nyaris 6 bulan kami tidak bertemu, sesudah kuceritakan nasibku pada ayahku, ayah mau menerimaku untuk bermukim bersamanya di bengkel. Sejak ketika itu sampai kini, 2 bulan aku tinggal bareng ayahku, dan nostalgia kami pun hadir yaitu mengerjakan hubungan layaknya suami istri.
Sekarang aku hidup bareng ayahku, aku laksana istri untuk ayahku sendiri, aku melayani hidup ayahku, dan aku berkomitmen guna tidak melanjutkan kuliah, dan pikiranku untuk para pria korban godaanku juga kubuang jauh-jauh yakni terhadap kepala sekolahku, pamanku dan Pak Iwan, ketika ini pikiranku melulu melayani ayahku dan membantunya di bengkel.